Perpres Publisher Rights Blunder, Wina Armada: Karpert Merah Kehancuran Pers Indonesia

Redaksi

“Dalam pasal 1 ayat 1 Perpers No 32 Tahun 2024 diterangkan, Tanggung Jawab Perusahaan Digital adalah kewajiban perusahaan digital menjaga ekosistem bisnis pemberitaaan yang sehat untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas,” sebut Wina.

Dua kesalahan paradigma dari rumusan ini:
1. Seharusnya tanggung jawab perusahaan platform digital berada pada wilayah korporasi seperti membayar pajak, menaati hukum Indonesia dan sebagainya. Bukan malah tanggungjawabnya disuruh menjaga kualitas jurnalisme.

2. Ini memberikan hak platform digital ikut “turut campur tangan” dalam bisnis pemberitaan yang sehat, sesuatu yang bertentangan dengan UU Pers. Dampak mengatur ekosistem bisnis pemberitaan akan sangat luas terhadap kehidupan kemerdekaan pers! Perusahaan pers sendiri saja tidak pernah ”dipaksa” membuat redaksinya bermutu!!

Apa itu perusahaan platform digital? Wina memaparkan, Pasal 1 ayat 9 Perpres No 32 Tahun 2024 merumuskan perusahaan platform digital adalah penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat yang menyediakan dan menjalankan layanan platrom digital serta memanfaatkannnya untuk tujuan komersial melalui pengumpulan dan pengolahan data. Tidak disebut terkait dengan penentuan jurnalisme, apalagi yang berkualitas. Hanya memang kemudian disebut menjalankan “layanan digital” seperti disebut dalam pasal 1 ayat 4.

“Pasal 1 ayat 4 Perpers No 32 Tahun 2024 menjelaskan, layanan platform digital adalah layanan milik perusahaaan platform digital yang meliputi pengumpulan, pengolahan, pendistribusian dan penyajian berita secara digital serta interaksi dengan berita yang berfungsi memperantai layanan berita yang ditujukan untuk bisnis. Apa bedanya dengan rumusan perusahaan pers? Dan kalau sama dengan perusahaan pers harus diperlakukan sesuai dengan perusahaan pers berdasarkan UU Pers No 40 tahun 1999,” tanya Wina.

Menurut Wina, tujuan Perpres itu sudah jelas. Dimana Pasal 2 Perpres mementukan, Peraturan Presiden ini bertujuan mengatur tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnaisme berkualitas agar berita yang merupakan karya jurnalistik dan dihargai kepemilikikannya secara adil dan transparan. Pengertiannya, agar “berita yang merupakan karya jurnalistik dan dihargai kepemilikikannya secara adil dan transparan”. Apa maksudnya? Bagaimana menentukan “kepemilikanya secara adil?” Siapa yang menentukan adil? Bagaimana hubungannya dengan hak cipta, UU Pers dan bidang keperdataan lainnya?

Padahal, lanjut Wina, kewajiban perusahaan platform digital itu tidak memfasilitasi penyebaran dan/atau tidak melakukan komersialisasi konten berita yang tidak sesuai dengan UU mengenai pers setelah menerima laporan melalui sarana pelaporan yang disediakan oleh perusahaan platform digital; memberikan upaya terbaik untuk membantu memperioritaskan fasalitasi dan komersiaslisasi berita yang diproduksi oleh perusahaan pers serta memberikan perlakuan yang adil kepada semua perusahaan pers dalam menawarkan layanan platform digital; melaksanakan pelatihan dan profram yang ditujukan untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas dan bertanggung jawab; Memberikan upaya terbaik dalam mendisain algoritma distribusi berita yang mendukung perwujudan jurnalisme berkualitas sesuai dengan nilai demokrasi, kebhinekaan dan peraturan perudangan-undangan dan bekerjasama dengan perusahaan pers.

Pertanyaannya, dimana peranan perusahaan pers sendiri terhadap kerja wartawan dan peningkatkan kulitas beritaya?

Bukankah semua berita yang keluar dari perusahaan pers harusnya sudah berkualitas, taat KEJ dan layak tayang/siar dan bukan ditentukan oleh perusahaan platform digital?

Kenapa yang sudah lolos dari perusahaan pers harus “diseleksi” lagi oleh perusahaan platform digital?

Bagaimana dengan keterkaitan dengan penyelenggaraan Standar Kompetensi Wartawan dan penataan terhadap Kode Etik Jurnalistik?

Bagaimana menentukan perlakuan yang adil kepada semua perusahaan pers dalam menawarkan layanan platform digital?

Bukankah selama ini semua sudah bebas memakai layanan latform digital tanpa diskrimintatif?

Apakah layak perusahaan platform digital yang sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan jurnalisme harus melaksanakan pelatihan dan program untuk jurnalistik berkualitas?

Bukankah ini kewajiban perusahaan pers, organisasi-organisasi perusaan pers dan Dewan Pers?

Bukankah algoritma harus diberlakukan secara sama dan terbuka untuk siapa saja?

Dikatakan Wina, kerjasama perusahaan platform digital dengan perusahaan Pers harus dituangkan dalam perjanjian. Ini berarti harus ada kebebasan dan kesetaraan berkontrak dalam perjanjian. Tidak boleh ada yang memaksa. Boleh ada bentuk lain yang disepakati para pihak sesuai kebebasan berkontrak.

Redaksi